LDM Sampai Kapan?

Sore itu saya memandangi gumpalan awan gelap yang berbaris, seolah sedang tahu keinginan saya terbang sampai jauh ke ujung angkasa. Seorang lelaki yang memiliki dua lesung pipi dengan mata sembab berjalan pelan dari sudut rumah menggendong ranselnya. Ia mendekat dan menyelipkan rambut saya yang jatuh ke wajah. Raut mukanya mendung dengan poni yang menutupi dahi. Kala itu lelaki saya pamit, mencium kening saya dengan mata lelahnya yang menghitam. Ia mengelus perut besar saya, yang berisi bakal jagoannya. Saya mengantarnya ke depan pintu kayu, lalu memeluknya erat-erat,  tersenyum kecil kepadanya dan ia pun membalas dengan manis, seolah tidak mau saling merayakan sedih di ujung pertemuan.


Sempat tergelitik dengan perkataan teman, “Apa guna menikah jika akhirnya harus terpisah?”


Kata banyak orang, inilah risiko yang memang harus kami ambil. Kan sudah tahu konsekuensinya menikah dengan sesama pegawai satu instansi, kami tidak diperbolehkan ditempatkan satu kantor. Kalau dari awal tidak mau LDM, ya jangan menikah dengan teman satu instansi, begitu kalimat yang tepat untuk kami telan sendiri. Awalnya kami kira mudah, setelah dijalani beberapa lama, memang sudah terbiasa, tetapi tidak bisa dikatakan gampang juga ya.  


Saya bercita-cita sederhana, suatu saat saya bisa diantar jemput lelaki saya setiap hari, ia pun demikian, bisa mengantar dan menjemput saya ke depan kantor melewati hari lelah kami. Sampai cita-cita ini kami deklarasikan di profil Instagram masing-masing, supaya tertulis dan teraminkan bagi siapapun yang membaca. Tetapi sejujurnya ini bukanlah cita-cita yang sederhana, karena kami tahu ini tidak pernah sederhana. Mohon doanya ya pembaca, semoga cita-cita kami kelak tercapai dengan bahagia.


Cinta sejati tidak pernah mengenal batas ruang dan waktu. Namun ternyata ruang kami begitu luas, Indonesia memiliki kantor pajak yang tidak sedikit. Saya yakin, pegawai-pegawai lain pun banyak yang lebih sulit situasinya. Banyak yang penempatannya berjarak lebih jauh, ada yang baru bisa bertemu pasangan atau buah hatinya sebulan sekali bahkan lebih.


Menjadi pegawai di Kementerian Keuangan adalah sebuah kehormatan dan tanggung jawab besar. Kami sangat mencintai instansi kami. Tanpa instansi ini, kami mungkin belum tentu dipertemukan. Tanpa laut Parepare, bisa jadi saya menemukan kapal lain, bimbang berlompat-lompatan di dermaga seperti ikan. Lingkungan pertemanan yang sempit membuat kami akhirnya memilih untuk mengambil risiko sulit yaitu menikah dengan teman satu logo. Saya pun yakin, banyak pegawai lain yang mempertimbangkannya sebelum mengambil keputusan ini. Bahkan tidak perlu satu instansi, terkadang pasangan yang tidak satu instansi pun harus rela LDM dengan berbagai alasan logis lainnya, misal anak sudah nyaman di tempat lama, tempat lebih memadai di rumah lama, dsb.


Meskipun jarak membentang, hati kita selalu berdekatan. Ah masak sih?


Meskipun hati berdekatan, kenyataannya siapa yang tidak patah hatinya ditinggal pamitan oleh manusia tersayang?


Angin berlarian kencang di musim hujan. Membiarkan pohon tidur berdiri sepanjang jalan. Saya teringat cerita lucu dimana beberapa kali lelaki saya terjebak longsor di tempat perantauannya saat perjalanan pulang. Saya kuatir bukan main karena sinyalpun tidak ada. Sulit sekali mendapatkan kabar darinya ketika ia melewati tebing-tebing tinggi, bahkan hanya untuk melacak keberadaannya melalui sharelok yang sering ia bagi. Lega hati saya ketika dia sudah mulai masuk kota dan sinyal di ponselnya muncul kembali. Ah, lelaki saya selamat! Alhamdulillah!


Saya memang percaya bahwa jarak bukanlah musuh cinta. Ada yang namanya teknologi pesan singkat, panggilan telepon, Video Call, yang setiap hari wajib kami jalani di sela kesibukan karena rasa rindu tidak bisa di lepaskan hanya dengan 2 hari di akhir pekan. Tetapi dengan adanya hubungan jarak jauh seperti ini, kami lebih menghargai romantisnya kebersamaan seperti sebuah keajaiban. Saya percaya dengan komunikasi yang baik, kesabaran dan komitmen yang kuat, momen-momen kami sebagai satu tim yang masih terpisah jarak akan berbuah indah pada waktunya.


Sisa-sisa hujan masih terasa. Malam itu pecah. Lampu temaram di sudut  ruangan menghangatkan satu persatu jemari saya yang mengepal. Kerinduan mencari wajah lelaki yang entah dimana kesasar. Itu adalah kali pertama saya merasa tubuh diremuk atas suntikan induksi tengah malam. Saya menahan sakit dan menarik nafas dalam-dalam. Satu dua tiga jam berlalu, detik jam dinding semakin selaras dengan detak jantung. Tangan dingin saya basah berkeringat. Beberapa bidan dan suster di depan saya tersenyum lega melihat malaikat kecil akhirnya turun dari surga dengan muka mungilnya.


“Anaknya cantik bu, ayahnya belum datang ya?”

“Iya sus, besok baru sampai karena longsor.”


Malam semakin manja, suara gitar pinggiran desa menemani gerimis yang tersisa. Masih di dalam angkutan, tetes demi tetes jatuh di  kaca jendela, dia hitung satu persatu supaya tidak hilang disapu jalan.


13 mei 2023. 

Lelaki saya menangis di perjalanan pulang.

Tidak sempat melihat proses anak kami keluar mengintip dunia.


Tidak apa-apa Ayah, semoga buah hati kedua, ketiga, keempat, kelima dan seterusnya sudah bisa satu kota ya.




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Lagi

Gemini oh Gemini